Via Zoom (29/11/2020), AKSITARU Indonesia menggelar kelas daring kader teknik desa, yang ke dua puluh satu. Dalam kegiatan itu, diambil topik berjudul pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan peran pemerintahan desa. Kelas ini ditujukan sebagai langkah awal mengidentifikasi peran masyarakat dan pemerintahan desa untuk menjaga dan melestarikan kualitas daerah Aliran Sungai. Kelas ini juga menghadirkan beberapa alternatif desain, sebagai intervensi penataan fisik pada badan sungai sejak hulu, muara dan hilir.
Berbekal pengalaman dan riset lapangan yang dilakukan oleh narasumber, yakni Zahrul Atarinafi. Mereka memantik peserta untuk mengidentifikasi persoalan (potensi, tantangan dan peluang) terhadap keberadaan aliran sungai yang melintas di desa. Ia menceritakan peran apa yang bisa dilakukan oleh pemerintahan desa, dalam melakukan penataan badan sungai.

“Pada prinsipnya, pengelolaan daerah aliran sungai ini, persoalan lintas administratif dan lintas kelembagaan/ instansi pemerintah. Hal yang kita temukan di lapangan, pasti akan berkaitan erat dengan konflik kepentingan dan keterbatasan anggaran. Tetapi pada kenyataannya, pemerintahan desa dan masyarakat desa dapat melakukan intervensi penataan sungai sejak dari hulu, muara dan hilir sungai (pesisir) apalagi dengan dinamika kelembagaan desa yang kian berkembang” Jelas Zahru
Zahrul menjelaskan bahwa sebagai pemerintahan desa berhak untuk melakukan intervensi penataan sungai sesuai lingkup kewenangan nya (kewenangan lokal) berskala desa.
Ia mencontohkan, bahwa pemerintahan desa yang berada di hulu sungai, dapat memanfaatkan potensi jasa wisata dan air bersih dari keberadaan mata air/ curug, memanfaatkan potensi pengelolaan pertanian agroforestry (kopi atau lebah madu), memanfaatkan sumber energi baru dari aliran air (mini/ mikrohidro). Sementara, bagi pemerintahan desa yang berada di muara dan hilir aliran sungai, dapat memanfaatkan sumber sungai sebagai sumber irigasi pertanian/ perkebunan, jasa wisata atau sarana transportasi sungai dan budidaya ikan native (lokal) setempat. Semua itu, menurutnya, dapat diintervensi oleh hak dan kewenangan lokal desa.
Selain contoh-contoh kewenangan lokal yang bisa diintervensi oleh desa diatas, Zahrul yang dibantu tim AKSITARU juga membagikan beberapa desain yang ia kurasikan dari beberapa portofolio/ pengalaman yang mereka miliki, seperti desain penataan kampung di tepi sungai, desain rumah panggung, desain rumah susun atau rumah deret serta desain peremajaan kampung di tepi sungai.
Respon peserta kelas AKSITARU Indonesia, yang dihadiri oleh tak kurang dari jaringan AKSITARU di sepuluh propinsi , sangatlah beragam.
Peserta dari regional Kalimantan, sebagian besar mempertanyakan alur koordinasi, dan program-program pengelolaan sungai di wilayah desanya.
“Sepengetahuan kami, kami tidak memiliki Lembaga/ Pokja BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai) seperti apa yang ada di Regional Pulau Jawa. Selama ini kami memanfaatkan aliran sungai kami,untuk membantu pemanfaatan irigasi perkebunan (sawit) dan sebagian ladang. Dampaknya, kita tak sadar bahwa terasa sekali, sedimentasi sungai dan penyempitan aliran sungai. Kemana, kemudian kami berkooordinasi? Kalau menunggu instruksi/ arahan dari pemda lewat dinas PU/ pengairan, sangatlah lama sekali, keburu banjir kita” Papar Ijang selaku Pendamping Desa di Kalimantan Barat
Sementara itu, dari beberapa peserta dari regional Jawa juga mempertanyakan respon pemerintah daerah dan pemerintah pusat, cenderung dinilai lambat.
“Mas Zahrul, kami di Madiun, ya dilalui aliran sungai bengawan solo. Kami disini, sudah banyak sekali jaringan anak sungai Bengawan Solo, yang rusak. Kami bingung, hendak berkomentar apa, kami sudah ajukan tiga kali pengajuan anggaran ke PU Kabupaten dan PU Propinsi untuk perbaikan/ rehabilitasi jaringan irigasi tersebut. Sampai dengan sekarang, belum ada tindak lanjut dari aspirasi kami. Kami ya, akhirnya melakukan upaya mitigasi bencana secara swadaya, untuk mengurangi risiko banjir itu”, Marjoko, BPD Madiun, Jawa Timur
“Saya pula, mas di Sragen. Masih sama, dengan bapak Marjoko. Desa saya dialiri oleh aliran bengawan Solo. Sampai saat ini, sejak tahun 2017, selalu saja tidak ada tindak lanjut untuk perbaikan irigasi tersier yang seharusnya jadi kewenangan pusat atau propinsi. Akhirnya, yang terjadi, kami melakukan pembiaran terhadap kondisi irigasi tersebut, dan kami coba upayakan secara swadaya, untuk mengurangi dampak banjir/ luapan sungai.” Ungkap Sri Hartati, BPD Sragen, Jawa Tengah
Mengingat beberapa hal yang menjadi batasan kewenangan desa, pengelolaan sumber daya air berkaitan dengan Daerah Aliran Sungai ini harus dikoreksi dan malah, dengan konsep pembagian kewenangan saat ini (antara pemerintahan pusat- propinsi- kabupaten), pemerintahan desa justru tidak berdaya, dan lebih sering menghadirkan ketidakpastian.
“Yang terjadi justru, pemerintahan desa merespon dampak dari keberadaan infrastruktur (jaringan sungai/ irigasi) yang tidak terkelola baik oleh pemerintah pusat, ya. Kami juga kurang dilibatkan dalam pencarian solusi yang mereka rancang” Jelas Sri Hartati, BPD Sragen
Maka itu, AKSITARU Indonesia, merekomendasikan bahwa perlu ada upaya reformasi kelembagaan dan keberpihakan anggaran terhadap pengelolaan atau penataan daerah aliran sungai melalui pendekatan kawasan perdesaan. Jika perlu, orientasi yang dibangun berbasis rencana aksi program penataan wilayah sungai, dimana ada peran pemerintahan desa, ada peran pemerintah kabupaten/ kota sebagai ujung tombak kegiatan. Alternatif anggaran juga perlu dipikirkan, bagaimana swasta atau dana tanggung jawab sosial lingkungan (CSR) perusahaan memungkinkan untuk membiayai kegiatan bersifat rehabilitasi atau preservasi jaringan sungai dan irigasi.
“Semua itu, bisa dilakukan asalkan ada kekuatan legal formal (permen/ PP) di pemerintahan pusat, untuk menjawab kewenangan pemerintahan desa dalam mengelola aliran sungai di wilayahnya” Ungkap Zahrul, sebagai narasumber