Semarang (05/10), dalam perbincangan antara Dewan Masyarakat Mangrove dan Warga di Tambakrejo, salah satu hal yang sulit untuk direspon sebagai jawaban valid, kompleks dan dipertanggungjawabkan adalah terkait keberlanjutan kegiatan penanaman mangrove di beberapa titik.

Sejauh ini, target penanaman mangrove berupa luasan (ha), masih menjadi tolak ukur keberhasilan pengelolaan rehabilitasi mangrove di pesisir sejak era Presiden SBY s,d Presiden Jokowi, Belum lagi, kemungkinan ke depan saat era Prabowo, mangrove akan menjadi instrumen penerimaan negara melalui model stok karbon nasional, ekonomi biru. Dengan demikian, penting sekali untuk mengukur secara valid, kompleks dan dapat dipertanggung jawabkan melalui data, tentang keberadaan jumlah pohon mangrove di Indonesia. Namun sayangnya, hal tersebut tidak langsung dilanjutkan dengan informasi berkala mengenai keberlanjutan ekosistem mangrove di beberapa titik, pasca aktivitas mobilisasi penananam massal pohon mangrove.
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) selaku leading sector, yang bertugas memfasilitasi percepatan pelaksanaan restorasi gambut dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada areal restorasi gambut serta melaksanakan percepatan rehabilitasi mangrove di provinsi target sesuai Peraturan Presiden Nomor 120 tahun 2020, sejauh ini hanya mempublikasikan laporan kepada publik terkait meta indikator program melalui target rehabilitasi penanaman dan target rencana penanaman di masing-masing wilayah kerja. Padahal hal tersebut, jelas-jelas dikonfirmasi oleh para petani Mangrove Tambakrejo bahwa pasca penanaman mangrove sangat mempengaruhi keberhasilan program, dan malah justru tidak terekam oleh pihak donatur program (CSR/ Hibah) dan pemerintah terkait atau masyarakat luas.
Atas hal tersebut, para petani mangrove di Tambakrejo berharap kepada Dewan Masyarakat Mangrove ke depan, agar bersama-sama mendorong proses survey monografi mangrove tahunan, sebagai instrumen pengendalian atau manajemen risiko penanaman mangrove di beberapa titik.
Selanjutnya, Imam Mudzakkir salah satu Anggota Dewan Masyarakat Mangrove menyatakan bahwa monografi mangrove itu juga penting untuk mencirikan bagaimana proses tranformasi ekonomi warga, baik sebelum ada kegiatan penananaman dan setelah penanaman. Jika ada produk mangrove yang diolah, artinya akan menjadi tugas kemudian, bagaimana menyediakan kawasan produktif mangrove untuk komoditas olahan, dan atau mengatur pergiliran tebang-tanam secara teratur.
“Jika dari mangrove ada potensi ekonomi yang besar, tidak bisa mangrove selalu dipanen. Mengingat masa tumbuhnya, cukup lama lewat 10 tahun agar berkayu. Belum lagi, jika ada karakteristik mangrove tertentu seperti spesies avicenia sp yang unggul buahnya sebagai antioksidan, maka penting melakukan zonasi pengaturan kawasan budidaya mangrove, mana kawasan produktif mangrove untuk pelaku usaha olahan dan mana kawasan lindung untuk pelestarian in situ mangrove. Proses ini hanya akan bisa tergambarkan, jika tiap wilayah kerja BGRM melakukan publikasi monitoring dan evaluasi berkala pasca penanaman”, jelas Imam.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Zazid, penggerak mangrove Tambakrejo yang menyatakan bahwa populasi spesies yang ditanam atau yang tumbuh sendiri, seringkali kita lupa untuk merekam. Ia berharap agar BGRM atau Dewan Masyarakat Mangrove bisa bekerjasama untuk mengembangkan platform digital peta mangrove berdasarkan keunggulan tematik, seperti jenis varietas mangrove, jumlah per jenis varietas, jumlah petani pembibit/ pemulia, dan jumlah olahan mangrove.
“Kalau ada peta yang diakses secara online, tentang informasi spesies mangrove yang ditanam, jumlah dan sebarannya serta hasil olahannya dan profil petani yang membudidayakan-nya, mungkin menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan eduwisata mangrove di beberapa lokasi“, tutup Zazid