Tambakrejo, Tanjung Mas, Semarang Utara (04/10), didatangi oleh beberapa tim formatur dari Dewan Masyarakat Mangrove. Praktisi mangrove yang diwakilkan oleh Zazid, dari kelompok petani pembudidaya dan pemulia tanaman Mangrove Rizophora sp. memaparkan progress perkembangan penanaman mangrove dan penataan kawasan pesisisr di Kota Semarang, tepatnya di Kecamatan Semarang Utara. AKSITARU Indonesia mendorong para pelaku mangrove di Indonesia untuk bisa berkumpul dan berjejaring melalui Dewan Masyarakat Mangrove, dengan harapan para pelaku akan terus meningkatkan kapasitas diri/ organisasi mangrove, kualitas bibit dan keterampilan mengolah olahan hasil budidaya mangrove di seluruh Indonesia.

Kegiatan ini adalah untuk merawat silaturrahmi, monitoring, dan evaluasi secara kompromi solutif untuk menyelesaikan benang-kusut dalam pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu serta merajut para pelaku mangrove untuk tergabung dalam Dewan Masyarakat Mangrove Indonesia.
Imam Mudzakir, sebagai salah satu anggota dalam Formatur Dewan Masyarakat Mangrove menyatakan bahwa saat ini, dilaksanakan percepatan penanaman mangrove di beberapa daerah oleh Badan Restorasi Mangrove (BRGM) di beberapa titik, guna tercapai target rehabilitasi mangrove di lahan seluas 600.000 hektare dapat tercapai pada 2024, dengan terdapat skema pembiayaan lain selain APBD dan APBD.
“Saya pikir, tak hanya soal target penanaman yang perlu dikawal. Tetapi bagaimana keberlanjutan ekosistem warga Pesisir baik transformasi ekonomi, sosial dan aspek penghidupan lain. Saya pikir soal penanaman mangrove ke depan, tak cukup laporan statistik penanaman saja melainkan bagaimana peta karakteristik mangrove dari sisi pelaku, jumlah anggota petani mangrove, jumlah atau jenis varietas yang dibudidayakan, jenis produk dan jumlah wirausaha baru UMKM mangrove, jumlah habitat yang berkembang pasca penanaman dan bagaimana upah/ pendapatan warga setelah ada mangrove bahkan profil destinasi mangrove tematik, seharusnya demikianlah laporan pertanggungjawaban komprehensif kegiatan penanaman mangrove”, jelas Imam
Ia juga menyayangkan bahwa di lapangan, belum terjadi koordinasi yang terpadu antar dinas teknis. Kesannya, lebih pada seremonial untuk melaunching kegiatan penanaman mangrove dan koordinasi pengalihan kewenangan antar sektor kelautan atau pihak dinas pariwisata yang tidak terkoordinasi dengan baik.
Hal itu juga diamini, oleh Zazid selaku wakil ketua kelompok tani Camar, Tambakrejo yang menyatakan bahwa keberlanjutan ekosistem mangrove jauh lebih utama dibandingkan agenda penanaman mangrove serentak. Menurutnya, lebih sulit untuk mengelola kesadaran masyarakat untuk peduli lingkungan sekitar tanpa insentif.
“Dulu, waktu awal-awal ada 25 tokoh mangrove di sini mas, waktu disupport Pertamina CSR tahun 2010. Sekarang hanya tersisa 10 orang saja, tahun 2024 ini. Makanya penting, saat ini atas kesadaran kami untuk menyediakan program-program kerjasama edukasi sambil berwisata“, Zazid
Jelas harapan Zazid adalah untuk meningkatkan interest bagi kelompok generasi muda agar peduli terhadap pengelolaan mangrove.
Sementara itu, Ketua RW 16 Dusun Tambakrejo sendiri, Bapak Slamet Riyadi juga mengungkapkan bahwa keberadaan mangrove menjadi potensi bagi tumbuhnya daya tarik wisata di Pesisir. Kami telah menyiapkan jalur jogging track, kapal pengangkut penumpang dan oleh-oleh di Rumah Kaca. Menurutnya, hal tersebut masih belum optimal mengingat kunjungan wisatawan di sekitar Semarang, juga memiliki daya beli kelas menengah ke bawah.
“Untuk ke titik objek destinasi, kita kumpul dari Rumah Kaca /Sekretariat, dan menuju ke lokasi mangrove kita menggunakan kapal, Sekitar 150 ribu untuk menikmati alam mangrove dan naik kapal untuk 10 orang. Kami pikir, itu sudah murah”, jelas Slamet
Hal tersebut lalu ditanggapi oleh salah satu perwakilan AKSITARU, Eko Fajar Setiawan yang menyatakan bahwa atraksi dan paket wisata menjadi sesuatu yang penting untuk dijual di tengah komoditas wisata pesisir yang hampir berpola sama. Ia berharap melalui forum keanggotaan dewan masyarakat mangrove ini, para pelaku dan penggiat wisata mangrove mau bekerjasama untuk melakukan proses diversifikasi produk masing-masing.
“Saya lihat oleh-oleh di semua desa Wisata Mangrove, pasti ada kripik mangrove. Kenapa tidak dikembangkan brownies atau kue basah dari mangrove? atau mungkin parfum atau obat dari daun atau akar mangrove? Kalau semua produk adalah kripik daun mangrove atau batik eco mangrove, lalu dimana inovasi yang berbeda? ” jelas Eko

Dengan menggunakan mesin Supercritical Fluid Extraction SCFE, beberapa komoditas yang memiliki unsur C-H-N dapat diserap menjadi komoditas atsiri, dengan tingkat kualitas 1 nano ppm, per 10 kg komoditas kering. Mesin SCFE yang pernah diulas melalui kanal ini, adalah salah satu jawaban, bagaimana daun dan buah mangrove dapat dimanfaatkan sebagai campuran parfum atau obat.
Menurut Jurnal yang dipublikasikan oleh Trunojoyo, Ekstrak daun Avicennia sp. dapat digunakan untuk menemukan produk alami bioaktif baru dan dapat digunakan sebagai sumber potensial yang dapat mengendalikan bakteri patogen. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari UNDIP, mengungkapkan bahwa pada buah mangrove terhadap unsur antioksidan yang tinggi Dengan demikian, banyaknya potensi hasil riset dari mangrove itu seharusnya mampu mengangkat perekonomian masyarakat Pesisir melalui inkubasi pelaku usaha, pendampingan dan diversifikasi produk olahan mangrove