Via Zoom (18/12) Hadir Dalam Kegiatan Konsultasi Publik Pemerintah Kabupaten Kuningan melalui Virtual Zoom, Eko Fajar Setiawan menyampaikan beberapa hal terkait strategi menjawab pembangunan jangka panjang di Kabupaten Kuningan. Strategi yang diungkapkan oleh Eko, diantaranya pengarusutamaan pengelolaan lahan kritis di Kuningan, Penguatan ekosistem industri pengolahan di tiap kluster kawasan pertanian perdesaan serta pengembangan kompetensi vokasi di wilayah Kuningan sesuai dengan keunggulan kompetitif di wilayah.

Eko Fajar yang mewakilkan Manager Program AKSITARU Indonesia mengungkapkan bahwa ada beberapa rekomendasi untuk pembangunan Tata kelola ruang yang akan menjawab produktivitas di desa yang akan diuraikan pada rekomendasi pembangunan berikut.
“Kami dari AKSITARU Indonesia, pernah berkegiatan di Kabupaten Kuningan untuk perbaikan lahan kritis di Kuningan khususnya di wilayah Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan. Kami meneliti banyak hal dari temuan lahan kritis, yang akhirnya berdampak pada ketimpangan struktural, gap tenaga kerja dan penguasaan akses modal yang tidak merata oleh masyarakat”, jelas Eko
Pertama, Berangkat dari kasus advokasi penataan ruang di Wilayah Kuningan, tim AKSITARU Indonesia yang diwakilkan oleh Eko Fajar memetakan kawasan Desa Cibulan, dan Desa-desa di Kecamatan Cidahu yang didominasi lahan galian eks tambang. Ia menceritakan bahwa hasil pemetaan di Wilayah Cidahu, Kuningan terdapat lima (5) desa yang memiliki aktivitas galian pasir dengan luas sekitar 219 ha, di antaranya Desa Cibulan (115 ha), Desa Legok (64 ha), Desa Datar (16 ha), Desa Bunder (14 ha), dan Desa Cieurih (10 ha). Sementara berdasarkan hasil citra satelit, analisis lahan lahan kritis di Wilayah Kuningan jumlahnya lebih dari 2000 ha di Wilayah Ciremai, dengan kasus lahan kritis yang beragam baik di hutan, lahan terlantar dan lahan kritis akibat eks galian .
“Kami lihat di desa Cibulan, dan beberapa desa sekitar Cidahu, punya banyak lahan terlantar lahan kritis akibat aktivitas galian C yang kurang bertanggung jawab. Lihat bagaimana suatu desa, yang awalnya tumbuh dengan serapan pekerja sekitar 1000 orang / tahun, lalu berkurang drastis setelah cadangan mineral di desa tersebut, habis bahkan ditutup. Belum tidak ada aktivitas reklamasi pasca tambang. Kemiskinan di wilayah eks galian, sangat menderita. Masyarakat kehilangan pekerjaannya sebagai penambang, pun tidak bisa menggarap lahan kritisnya dengan mudah. Penambang pun lari dari tanggung jawab untuk mereklamasi lahan pasca tambang”, jelas Eko
Saat itu, kami dari AKSITARU Indonesia, turun memfasilitasi berbagai pertemuan dan mendorong berbagai aksi kolektif bersama masyarakat melalui kegiatan vokasi tata ruang desa dan vokasi pertanian organik di Desa Cibulan.
“Hasil kegiatan dari kami turun di lapangan, tentunya adalah masterplan vokasi pasca tambang yang telah kami sounding kepada teman-teman di ESDM, asosiasi pelaku tambang, Kampus dan pemerintah Kuningan sendiri melalui Bappeda. Kami juga melihat, pasca tambang ini seperti fenomena gunung es, didalamnya ada konflik kepentingan lahan, ketimpangan struktural, kemiskinan kultural, pencemaran lingkungan dan gap tenaga kerja. Kami berkeyakinan kalau dikelola dengan baik dan serius, lahan pasca tambang per 10 ha ini, dapat menghasilkan pekerjaan sekitar 20 orang. Bayangkan kalau 2000 ha ini, dikelola dengan bijak? Bukannya Kuningan memiliki persoalan soal angka pengangguran terbuka ya yang tinggi ya?” Jelas Eko
Kedua, Eko juga menyampaikan bahwa Kuningan Timur dan Kuningan Utara memiliki beragam potensi pangan dan cadangan baik tanaman pangan (beras- ubi- jagung), peternakan (sapi), holtikultura (cabai- buah dan sayur) dan perkebunan seperti cengkeh, kopi dan nilam. Salah satu strategi yang dimiliki oleh Eko dkk AKSITARU Indonesia yakni melalui pengembangan unit usaha pengolahan produk pertanian, peternakan dan perkebunan dan pengolahan minyak atsiri dengan mendorong 1 kecamatan- 3 industri turunan pengolahan.
“Saya merasa heran dengan Kabupaten Kuningan. Kuningan ini secara struktur perekonomian masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 23,8%. Tetapi pada sektor pertanian ini justru, kontribusi kepada masyarakat miskinnya paling tinggi, hampir 12%. Artinya disana ada ketimpangan struktural seperti penguasaan modal (tanah, dan uang) dan minimnya inovasi pada pengolahan produk pertanian. Kami dulu pernah menawarkan kepada teman-teman di Kuningan, untuk mengikuti kegiatan workshop dan prototiping industri pengolahan, minat belajar atau minat investasi terhadap teknologi, sangat rendah sekali, memprihatinkan. Padahal peluang untuk berkembang, saat itu sudah disampaikan, ada banyak teknologi seperti smart farming, precission farming, solar pv deep tunnel, pengolahan minyak atsiri, dan termasuk teknologi pengolahan plastik”, jelas Eko
Eko menganggap bahwa kemajuan sektor pertanian juga sulit dicapai, jika tidak ada komitmen dari pemangku kepentingan dan tokoh pengusaha di Kuningan. Dalam penelitian Eko Fajar Setiawan tentang komoditas kedelai di Kabupaten Kuningan, untuk 1 komoditas saja, ada 3 rente (rent seeker/ free rider) atau pihak yang mengambil manfaat seperti dari komoditas kedelai, dari pelaku produsen bibit pertanian, pengepul kedelai di level kelompok tani, pengepul di level kabupaten (kopti) dan pengepul di level nasional
“Sulit memajukan industri pengolahan, jika banyak pihak mengambil manfaat dari sektor pertanian. Selamanya, sektor pertanian akan melahirkan orang miskin di Kuningan” Tegas Eko
AKSITARU Indonesia, melalui jejaring manufaktur Desanya pernah mensosialisasikan berbagai produk manufaktur di sektor pertanian, dan perkebunan kepada rekan-rekan BUMDes dan pelaku usaha tani di Kuningan. Hasilnya, menurut Eko, sangat memprihatinkan. Eko mengatakan bahwa masyarakat di Kuningan, memiliki kemampuan akses finansial yang terbatas, dan daya saing untuk mengoperasikan peralatan industri masih dibawah level keterampilan skkni (rerata masyarakatnya di level 6).
Eko menyarankan agar Pemerintah Kabupaten Kuningan, segera mengumpulkan para pelaku dari pengepul komoditas, tengkulak dan pengusaha besar sektor pertanian, peternakan dan perkebunan dari berbagai komoditas untuk mengembangkan kemitraan seperti industri pengolahan produk turunan bersama pihak perguruan tinggi nasional/ daerah, pemerintahan desa (BUMDes), lembaga litbang (BRIN- AKSITARU-LPPM dll) melalui prinsip pengelolaan bagi hasil melalui KPBU (Kerjasama Pemerintah Badan Usaha) atau wakaf produktif untuk mengentaskan kelompok rentan dan miskin.
“Skema wakaf produktif atau KPBU antara kelompok filantropi, pelaku usaha, tengkulak, lembaga penelitian/ kampus mengembangkan pabrik rice mill atau pabrik pengolahan pangan di tiap kecamatan sangat prospek. Mereka berkolaborasi dari penjaminan pasca panen, dukungan pembiayaan operasional dan dukungan pendampingan ketenagakerjaan agar memiliki standar level keterampilan yang berdaya saing”, jelas Eko
Terakhir, strategi gemilang yang sedang disiapkan oleh Eko dkk AKSITARU Indonesia, yakni dengan mendorong praktik-praktik vokasi desa di beberapa daerah. Praktik vokasi desa yang disarankan untuk pemerintah kabupaten kuningan, yakni berada pada sektor industri ekonomi kreatif, sektor perkebunan dan sektor pertanian.
“Kuncinya, ada pada berapa jumlah pabrik dan industri pengolahan atau kreatif yang bisa dibangun. Pendidikan vokasi akan tidak relevan dengan visi ketahanan pangan dan pariwisata kabupaten Kuningan jika yang ada hanya pabrik tekstil. Penanaman modal asing, perlu diarahkan untuk mendorong prospek hilirisasi perkebunan, peternakan dan pertanian di Kabupaten Kuningan. Artinya, kompetensi untuk melahirkan ekosistem smart farming, precission farming, pertanian ramah atau alami diharapkan muncul dalam muatan kurikulum vokasi” Jelas Eko
Eko mengutarakan bahwa dalam pendidikan vokasi diperlukan peta jalan atau peta strategi vokasi daerah sehingga pembentukan tim koordinasi vokasi daerah, juga perlu inklusif melibatkan pelaku usaha dan kelompok masyarakat peduli pendidikan di Kabupaten Kuningan.
“Pendidikan vokasi ini memerlukan peran banyak pihak. Kami memiliki program vokasi desa, seperti kurikulum eks atau pasca tambang yang telah diuji coba di Desa Cibulan, Kabupaten Kuningan. Pendidikan Kurikulum di Kuningan tidak hanya berkutat soal pendidikan teknik saja. Pendidikan vokasi juga bisa berupa pemagangan di lapangan, di luar negeri bahkan kemitraan dengan perguruan tinggi” tutup Eko