Menu Close

Model Co-Working Space Desa Kian Diminati Warga, Pemda Perlu Segera Terbitkan Perda Ekonomi Kreatif dan Kuatkan Baseline Data

Meminjam istilah dari Clayton M. Christensen dan Joseph Bower di tahun 1995 dalam buku berjudul “Disruptive Technologies: Catching the Wave”, Harvard Business Review (1995). Disrupsi inovasi biasanya mengambil segmen pasar tertentu yang kurang diminati atau dianggap kurang penting bagi penguasa pasar, namun inovasinya bersifat breakthrough dan mampu meredefinisi sistem atau pasar yang eksisting. Munculnya Inovasi Disruptif jika tidak diantisipasi dengan baik oleh dunia usaha dapat menyebabkan kejatuhan. Fenomena disrupsi inovasi ini membawa sekali

Beberapa hal yang membuat era diskruftif makin massif dibicarakan, yakni aspek pengembangan Teknologi, telah mengubah dunia tempat kita berpijak. Teknologi telah membuat segala produk menjadi jasa, jasa yang serba digital, dan membentuk marketplace baru, platform baru, dengan masyarakat yang sama sekali yang berbeda. Selanjutnya, lahirnya generasi baru yang menjadi pendukung . Mereka tumbuh sebagai kekuatan mayoritas dalam peradaban baru yang menentukan arah masa depan peradaban, dengan sebutan millenial atau zillenial. Ketiga, Kecepatan luar biasa yang lahir dari microprocessor dengan kapasitas ganda setiap 24 bulan menyebabkan teknologi bergerak lebih cepat dan menuntut manusia berpikir dan bertindak lebih cepat lagi. Manusia dituntut untuk berpikir eksponensial, bukan linear. Manusia dituntut untuk merespons dengan cepat tanpa keterikatan pada waktu (menjadi 24 jam sehari, 7 hari seminggu) dan tempat (menjadi di mana saja), dengan disruptive mindset. Keempat; Sejalan dengan gejala disrupted society, muncullah disruptive leader yang dengan kesadaran penuh menciptakan perubahan dan kemajuan melalui cara-cara baru. lni jelas menuntut mindset, disruptive mindset. Kelima; Bukan cuma teknologi yang tumbuh, tetapi juga cara mengeksplorasi kemenangan. Manusia-manusia baru mengembangkan model bisnis yang amat disruptive yang mengakibatkan barang dan jasa lebih terjangkau (affordable), lebih mudah terakses (accessible), lebih sederhana, dan lebih merakyat. Mereka memperkenalkan sharing economy, on demand economy, dan segala hal yang lebih real time.

Dampak pandemi covid 19 tahun 2020 lalu memaksa warga memiliki pola kebiasaan yang lebih mengandalkan teknologi HP dan akses internet serta perangkat tatap muka online untuk rapat/ pertemuan akibat perilaku pembatasan sosial. Pola kerja lama, dengan rapat besar- rapat massif dan berkerumun, saat ini, makin jarang ditemukan. Selain aturan protokol kesehatan selagi pandemi, terlihat minat generasi millenial atau zillenial untuk berkumpul makin berkurang. Ada transisi aktivitas warga yang perlahan mengganggu bisnis eksisting sehingga secara paksa, kita harus menyadari bahwa disrupsi inovasi ini mengubah lanskap pasar dan model bisnis hari ini.

Inovasi yang berani dilakukan oleh salah satu kecamatan di Temanggung, Jawa Tengah. Mereka menginisiasi sekolah kopi di sebuah ruang kantor kecamatan sebagai ruang kreatif & ruang publik untuk peningkatan SDM, pemberdayaan masyarakat serta menjadi lokomotif pengembangan potensi desa.

Sumber: Antaranews Jateng, 2021

Sekolah kopi Gemawang, telah menjadi sentra pembelajaran tentang kopi lokal mulai dari budidaya, pengolahan, manajemen, bisnis, pemasaran serta menjadi etalase produk unggulan desa di Wilayah Temanggung, Jawa Tengah.

Menurut Samsul Widodo (2021), Staff Khusus Kementrian Desa PDTT menyatakan bahwa Sekolah Kopi Gemawang ini memiliki dua (2) divisi utama yaitu Divisi Program dan Divisi Bisnis. Divisi program bertugas menyelenggarkan program-program pelatihan dasar- menengah terkait budidaya, pasca panen, barista, pengolahan, manajemen bisnis dan pemasaran serta divisi bisnis bertugas mengelola kedai kopi sebagai area eduwisata masyarakat sekitar. Selain itu, Kedai ini juga menjadi etalase produk-produk unggulan desa di Kecamatan Gemawang, Temanggung Jawa Tengah

Konsep sekolah Gemawang ini sebetulnya, konsep yang sering dijumpai di beberapa kafe shop/ kedai kopi di beberapa kota besar di Indonesia. Konsep ini sering dikenal sebagai “Co-working space”. Co-working space atau ruang kerja bersama, pada mulanya, dapat dilihat sebagai infrastruktur sosial modern dikarenakan memunculkan pola interaksi yang berbeda dengan rumah dan kantor konvensional serta akselerator ekonomi berbasis pengetahuan untuk meningkatkan daya saing dan keunggulan komparatif (Jamal , 2018; Merkel, 2015; Moriset, 2013). Contoh gemawang ini, satu dari sekian banyak yang dapat kita sebut sebagai “Co working space” berbasis kedai kopi barista dengan kombinasi pembelajaran tematik komoditas dan wisata alam.

Namun amat disayangkan, banyak hal yang salah dipersepsikan oleh masyarakat kita di Indonesia mengenai co-working space. Banyak yang hanya sekadar menilai, ia adalah fasilitas terpisah yang disusun-secara part to part (bagian per bagian) yang dilengkapi di kemudian hari, bukan kepada konsep model bisnis yang utuh dan tematik. Kesalahan lain pun terdapat pada stigma “bahwa bisnis ini” hanya untuk anak muda padahal pola bisnis model ini dapat menarik segmentasi masyarakat yang lebih dewasa.

Menurut data observasi penulis via goggle maps (2021), sebaran co working space mulai ditemukan di tiap kabupaten/ kota di Indonesia. Secara random, khusus di wilayah Jawa Barat sampai di Jawa Timur, konsep co-working space (menurut narasumber warga), tak kurang dari lima (5) spot / titik di tiap kabupaten/ kota, tipe co-working space yang mereka pahami

Beberapa penafsiran berasal dari para pelaku yang diwawancarai penulis sejak pandemi covid 19 di lima kabupaten (Tegal- Brebes- Cirebon- Majalengka dan Blitar), sebagian besar dari mereka menilai bahwa co-working space itu di antaranya, 1) Kafe dengan fasilitas internet dan kursi kerja/ santai, 2) warung resto makan dengan konsep wisata dan gathering, 3) alun-alun / pusat aktivitas warga di pusat kota dengan teater pertunjukkan seni/ wahana permainan anak-anak dan 4) rest area/ tempat beristirahat di tol dengan etalase produk UMKM warga, serta 5) galeri pusat oleh-oleh/ galeri berkesenian tradisional

Sebagai salah satu Kota Pelopor lahirnya gagasan Co-working space di Indonesia, Kota Bandung yang memiliki program prioritas lima belas (15) co-working space di RPJMD Kota Bandung juga mengintepretasikan lebih luas. Program ini dimampu oleh Dinas Pariwisata Kota Bandung, dengan titik lima belas (15) lokasi percontohan untuk tahun 2021. Fokusnya dilakukan untuk mengembangkan integrasi pusat destinasi wisata (DTW) Kota Bandung dengan ruang warga beraktivitas di kewilayahan (kecamatan), sehingga harapannya, pengunjung / wisatawan luar kota makin penasaran untuk menilik ke beberapa titik/ spot wisata. Selain konsep instagramable, konsep “aktivasi/ edukasi warga” juga diciptakan sengaja oleh Pemkot meski terlihat “memaksakan” karena modal sosial masyarakat setempat berbeda.

Co-working space Arcamanik, Kota Bandung ini yang memadukan ruang diskusi- kegiatan hidroponik dengan etalase produk umkm terlihat lebih didominasi oleh pengunjung lokal dari warga Kota Bandung itu sendiri sehingga harapan mengintegrasikan destinasi wisata dengan pusat aktivasi warga, belum begitu terlihat. Malah, yang penulis amati, justru lokasi destinasi wisata baru dengan konsep instagramable, harga yang terjangkau dan akses yang mudah jauh lebih diminati oleh warga Indonesia saat ini dibanding tempat aktivasi warga yang sengaja diciptakan untuk menarik kunjungan bereduwisata. Dampak pandemi covid 19 ini, secara umum, berdampak pada seluruh pelaku sektor wisata dan termasuk para tenaga kerja sektor pariwisata dan ekonomi kreatif khususnya di perkotaan. Kota Bandung, menyatakan bahwa PAD Tahun 2020 turun drastis sekitar 50% dibanding tahun kemarin. Sektor ekonomi primadona “jasa pariwisata dan hiburan”, kini tak lagi diandalkan.

Sumber : arcamanik working space, 2021

Berbanding dengan fenomena wisata di Kota Bandung, menurut data dari sindikat jejaring wisata desa, pariwisata masih bisa bertahan. Di beberapa lokasi desa wisata di wilayah Jawa Barat, tak kurang (sepuluh) 10 pengunjung tiap hari datang dan uniknya, kini warga desa banyak yang mulai beraktivitas sampai dengan malam hari. Pola aktivitas mereka yang dominan pagi, bergeser ke sore dan malam. Meski diterapkan PPKM di beberapa kabupaten, ternyata, muda-mudi (dominasi pengunjung) lebih menikmati suasana desa-nya di malam hari, dan mereka beraktivitas di titik-titik yang menurut mereka memenuhi kriteria tempat (instagramable), kriteria bersosial (kenyamanan berkumpul dan aspek keterjangkauan), dan kedekatan dengan lingkungan kerja/ tinggal (hunian) mereka.

Sebagaimana pasar berjalan, terdapat pelaku co-working space yang kalah bersaing. Konsumen co-working space pasti akan memrioritaskan brand sebagai rujukan utama tempat (ex: KFC- Upnormal- McD- Kopi Kenangan- Chattime dan brand yang sudah exist di kota tsb), daripada brand-brand baru, dengan duplikasi konsep yang meniru eksistensi mereka. Loyalitas konsumen yang jadi titik permasalahan konsep “working space”, perlu dicuragai sebagai titik kegagalan pasar, sehingga model bisnis dengan risiko demikian, memang harus melakukan inovasi produk/ bahkan inovasi tempat untuk tetap menambah motif kesetiaan pelanggan terhadap tempat.

Saat ini, pemerintah belum merinci “apa itu definisi co-working space dan bagaimana rumpun pekerjaannya, standar para pelaku-nya” sehingga asumsi publik menyatakan bahwa pemanfaatan ruang dengan model seperti co-working space, ini sengaja di generalisasikan guna menghindari privatisasi sektor atau “labelisasi tempat berkegiatan sosial”. Sikap ini-lah, yang cenderung kontraproduktif dengan semangat pemerintah menghadirkan UU Ekonomi Kreatif/ UU 24 Tahun 2019 yang justru bermaksud menciptakan keberpihakan kepada pelaku ekonomi kreatif dan meningkatkan taraf hidup pelaku-nya tanpa ada kesenjangan antar pelaku, melalui klaster klaster ekonomi kreatif.

Menanggapi beragam fenomena diatas, penulis menyatakan bahwa aktivitas di coworking space ini, adalah alternatif ekonomi di masa yang akan datang. Ada tiga sektor yang perlu diatur segera, yakni sektor kesejahteraan pelaku, pemanfaatan ruang, dan sektor insentif pembiayaan yang harus dimuat di Perda Ekonomi Kreatif.

Inisiatif daerah untuk mengimplementasikan UU Ekonomi kreatif juga dinilai belum penuh berkomitmen. Capaian sementara (2021), Perda Ekonomi kreatif sebagai turunan UU masih umum diatur di wilayah propinsi. Beberapa kabupaten/ kota di Jawa, progressnya masih dalam tahap penyusunan dan pengkajian. Hal esensial yang perlu ditinjau yakni mengenai baseline-data pelaku, produk, sektor pelaku dan sebaran pelaku di tiap-tiap daerah. Kondisi ini mungkin sedikit sensitif mengingat banyak banyak anomali bermunculan seperti “seniman tak bisa bertahan hidup”, “seniman menjual alat musik” di beberapa daerah di wilayah Pantura. Kemungkinan, jika pemda tak memiliki kreativitas, banyak dari mereka melakukan alih profesi ke pekerjaan primer atau sekunder lainnya (serabutan)

Merujuk pada dokumen perencanaan tata ruang di Indonesia, Keberadaan “Co-working space” juga tidak praktis sehingga tak ada proses pengendalian tata ruang massifnya pola distribusi (spasial) Coworking Spaces yang secara tak sadar, mempengaruhi struktur internal perkotaan (Huliana dan Ellisa, 2019; Mariotti et al., 2017; Moriset, 2013). Sektor pemanfaatan ruang ke depan, erat hubungan dengan konteks perijinan pendirian pusat kegiatan lokal baru dan intervensi pengendalian ruang. Pertimbangannya, jelas, “jika tempat working space baru tersebar di seluruh titik sepanjang jalan”, pasti ada perubahan lokasi menjadi titik bangkitan, pun arus pergerakan akan dominan mengumpul ke titik itu. Seiring tempat itu ramai dikunjungi, maka seiring pula wilayah sekitar mengubah fungsi peruntukan , menuju ke komersial dengan fasad bangunan yang hampir menyerupai dan kemacetan tak akan terhindari mengingat kapasitas jalan terbatas. Meskipun, pemerintah pusat dalam hal ini (Kementrian ATR dan PUPR) belum menerbitkan standar minimum pelayanan co-working space di Indonesia. Namun sepertinya, ke depan, pemerintah perlu berinisiatif mengatur kriteria minimal kapasitas pengunjung bangunan/ tempat “working space”, kesiapan infrastruktur menghadapi skenario bencana dan standar operasional prosedur terkait jasa pengatur kendaraan parkir (juru parkir) sehingga tidak memenuhi badan jalan.

Terakhir, soal insentif pembiayaan ini. Nampaknya para pelaku ekonomi kreatif desa berbasis working space memiliki variasi kemampuan ekonomi yang berbeda-beda. Sektor usaha mereka umumnya lebih ke konsumsi cepat habis (kuliner, resto dan oleh oleh) sehingga arus kas mereka sangat rentan apabila pasar tidak menyerap. Pemerintah, melalui kewajiban alokasi anggaran seharusnya lebih kreatif mengalokasikan insentif anggaran kepada pelaku, tak hanya sebatas pinjaman modal KUR (Kredit usaha rakyat), namun pemerintah juga perlu mendorong agen-agen distribusi produk di luar daerah (marketplace), memberikan skema harga promo sewa kepada pelaku kios bangunan dan skema kemitraan lapak dengan lokasi publik ramai dikunjungi (jejaring waralaba) untuk menyerap produk jualan mereka

Adapun penulis menilai, kekurangan dari tulisan ini yakni berkaitan terbatasnya data karakter konsumen di masing-masing daerah/ lokasi, kondisi SDM penunjang aktivitas co-working space, tren komoditas pasar yang tidak pasti- bergantung waktu-bergantung minat sehingga break event point sulit dicapai jika tanpa inovasi produk/ tempat yang berjalan. Pemenang bisnis dengan konsep ini ialah mereka yang memiliki kesediaan untuk meluangkan waktu lebih banyak dan menekuni passion yang ingin diminati sebagai fokus serta berani mengambil risiko bisnis baru atas inovasi produk yang sedang tren di pasar.

Kunci lain yang utama, selain segera menerbitkan perda ekraf. Tentunya berkaitan dengan baseline data pelaku ekonomi kreatif. Baseline data itu harapannya, tidak seperti data statis BPS yang diunggah tiap tahun. Melainkan ada pembaharuan melalui aplikasi secara riil time mengingat pekerjaan ini, sangat rentan untuk alih profesi atau hanya dikerjakan secara sampingan. Pemerintah daerah perlu benar-benar melakukan pendataan pekerja ekonomi kreatif, memetakan sebaran mereka, memetakan pola dan cara kerja mereka dan lebih jauh, “karakter mereka berkomunitas sosial” di tengah pandemi.

Salam

Eko Fajar Setiawan

goldenpharaohcasino.uk

Bagikan ke
Posted in Opini

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *