Via Zoom (10/10/20), AKSITARU Indonesia menyelenggarakan kelas daring sesi ketujuh dengan topik implementasi konsep daya dukung lingkungan untuk mewujudkan pembangunan desa SDGs. Dengan pemateri, Fitri Nurul Kamila S.T. selaku peneliti AKSITARU dengan latar belakang, praktisi ekosistem kehutanan. Kelas ini adalah kelas lanjutan pada pertemuan minggu lalu, tentang topik neraca ekosistem desa, dengan dihadiri kurang lebih dua puluh dua (22) orang dari beberapa propinsi di Indonesia, mewakili kader teknik desa dari unsur BPD dan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Dalam materi ini, Mila, menjelaskan pentingnya memahami daya dukung lingkungan sebagai instrumen pengendalian pembangunan. Instrumen tersebut adalah indikator pembangunan berkelanjutan (SDGs).
“Dengan memahami konsep daya dukung, dan daya tampung lingkungan ini. Kita akan mampu mengurangi risiko ketidakberhasilan dari pembangunan. Tak hanya mengejar produktivitas atau pertumbuhan ekonomi saja, akan tetapi kita juga mampu mengarusutamakan keserasian antara pembangunan, kependudukan dan lingkungan hidup”, Papar Mila
Menurut Mila, analisis daya dukung lingkungan ini merupakan alat perencanaan pembangunan yang memberikan gambaran hubungan antara penduduk , penggunaan lahan dan lingkungan untuk menilai tingkat kemampuan lahan dalam mendukung segala aktivitas manusia yang ada disuatu daerah. Beberapa metode analisis daya dukung lingkungan dilakukan melalui metode proyeksi penduduk, metode VIS dan Supply-Demand. Metode-metode tersebut, dijelaskan oleh Narasumber saat diskusi kepada peserta.
“Setelah kita menghitung analisis daya dukung lingkungan dari beberapa metode, kemudian kita akan melakukan estimasi daya dukung lahan seperti fungsi kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri dan kawasan lindung. Penting bagi kita ketahui, bahwa perhitungan daya dukung lahan ini harus berbanding terbalik terhadap aktivitas penggunaan lahan. Artinya, kebutuhan lahan alih fungsi yang dibutuhkan harus lebih kecil dari ketersediaan lahan di daerah tersebut. Artinya pemerintah desa perlu menjaga keseimbangan antara populasi, kebutuhan konsumsi dan hunian/ permukiman”, Tutup Mila
Penutup dari narasumber itu, ditanggapi berbagai antusias dengan pertanyaan dari para peserta pelatihan kelas daring AKSITARU.
“Mbak, lokasi saya, terdapat pembangunan pabrik. Bagaimana kita mengatasi ketersediaan lahan tersebut? Adakah peraturan yang dapat memperkuat statement kita, jika kita ingin menolak keberadaan pabrik itu? “Tanya Damianus (BPD Kepulauan Tanimbar,Maluku)
“Pasca UU Cipta kerja ini, pemerintah pusat akan berwenang menentukan kawasan ekonomi/ industri khusus termasuk di desa. Kaitannya dengan ketersediaan ruang, bagaimana keterlibatan desa jika kami ingin melindungi kawasan di desa sesuai kewenangan kami. Bagaimana caranya?”, Tanya Agus Saepulloh (BPD Lebak, Banten)
“Di madiun RT RWnya juga masih belum jelas, Bagaimana kewenangan pemerintah desa, ketika ada program dari desa. Dokumen apa saja yang perlu diketahui oleh pemdes ketika ada program dari atas pemdes?”, Tanya Demang Joko (BPD Madiun).
Mila, sebagai narasumber menyatakan bahwa daya dukung lingkungan ini adalah alat atau indikator dalam pembangunan, biasanya dimuat dalam Dokumen KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) sehingga dokumen ini menjadi turunan produk perencanaan tata ruang kabupaten, dalam hal ini RTRW Kabupaten/ Kota. Perihal pertanyaan-pertanyaan diatas, narasumber mempersilakan kepada rekan-rekan AKSITARU lain, seperti Zahrul, dan Eko selaku peneliti di AKSITARU.
“Pertanyaan pak Damianus, ini. Mohon untuk dicek terlebih dahulu, latar proyek pabrik tersebut pak. Apakah menjadi bagian dan masuk dalam indikasi program RTRW Kabupaten Kepulauan Tanimbar atau tidak. Perihal sikap bapak, sebaiknya ajukan diskusi/ kunjungan kepada BAPPEDA /dinas tata ruang atau terkait lainnya, untuk melihat peta peruntukan lahan di lokasi yang bapak maksud, berwarna hijau (kawasan lindung atau budidaya pertanian), orange (permukiman) , merah (komersil/ jasa lainnya) atau coklat (industri dan lainnya). Dari sana, bapak bisa lihat kesesuaian antara perencanaan dan realisasi pembangunan”, Jawab Eko untuk pertanyaan Damianus
“Untuk pertanyaan pak Demang Joko, Zahrul menambahkan jika pemda madiun belum memiliki RTRW yang baru. Bisa mengacu pada dokumen RTRW sebelumnya atau dokumen RTRW Propinsi, pak.”, Jawab Zahrul untuk pertanyaan Demang Joko
Tanggapan terhadap Pertanyaan pak Agus Saepulloh, disampaikan oleh Eko dan Zahrul.
Mereka sepakat, bahwa pasca UU Cipta kerja ini diharapkan pemerintah desa, lebih melek aturan tata ruang. Pemdes memiliki batasan kewenangan terhadap kebijakan yang berasal dari pusat, salah satunya pembangunan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus).
“Pasca UU Cipta Kerja, pemerintah pusat akan mendorong pembangunan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) itu seperti kawasan pariwisata prioritas, kawasan industri dan lain-lain, sifatnya proyek strategis nasional. Tugas pemdes saat ini, fokuslah mengidentifikasi dan melegalisasi aset desa khususnya berkaitan lahan kas desa, lahan titi sara, lahan adat dll. Hal itu dilakukan supaya mencegah terjadinya konflik agraria di masa yang akan datang. Mereka yang memiliki status kepemilikan/ pengelolaan sah di dalam hukum, yang akan mendapat ganti rugi. Pihak pemerintah, nanti akan diwakilkan oleh perpanjangan suatu badan/ Lembaga bernama Bank Tanah, yang bertugas untuk menyediakan lahan/ tanah demi kepentingan umum/ negara” Jawab Eko
“Sementara kalau dari saya, pak. Bapak dkk bisa terlibat dalam penyusunan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), sebagai pihak yang diminta memberikan konfirmasi dampak lingkungan sosial dll. Meski tidak disusun oleh bapak dkk di desa, bapak agus dan bapak damianus, mintalah untuk dilibatkan saat penyusunannya, jika terdapat proyek strategis nasional”, Jawab Zahrul
Isu lainnya dalam pembangunan, yakni setelah lahir UU Cipta kerja. Desa akan dilihat sebagai kawasan fungsional, dilihat sekali kemampuan fisik desa untuk mencapai produktivitas dan akumulasi ekonomi sehingga pemerintahan desa perlu lebih adaptif, aktif dan bersiaga menyikapi dinamika perubahan tata ruang. Arahan-arahan seperti pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan kelembagaan otorita kawasan menjadi diskursus topik menarik pasca UU ini.
Di akhir kegiatan, Mila kembali menyimpulkan bahwa penting sekali dilakukan analisis daya dukung lingkungan dan analisis daya dukung lahan, sebagai parameter ekologi dalam pembangunan berkelanjutan. Kita sebagai masyarakat atau pemerintahan desa, harus terlibat aktif dalam memberikan masukan ke pemerintah daerah terutama saat penyusunan RTRW, KLHS, dan AMDAL dan dokumen tata ruang lainnya.