Di Kuningan (19/03), pagi hari, beberapa petani usia paruh baya bergiat di ladangnya. Motif bekerja di ladang atau bekerja di luar kota untuk menjadi pedagang adalah pilian hidup dari warga di Desa Cibulan, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan. Daerah Cidahu pada 2000-an awal, terkenal sebagai daerah buah-buahan dan padi. Sejak tambang masuk periode itu, bergeser pula minat pekerja Cidahu untuk bekerja di ladang sehingga beberapa dari anak muda bergeser ke pekerjaan informal di luar kota.
Tarpin, salah seorang petani paruh baya yang kita temui di ladang, mengaku memiliki keterampilan untuk bertani sejak kecil ketika mengikuti jejak orang tuanya untuk bertani kacang tanah dan padi.
“Sejak tambang itu ada, tahun-tahun awal setelah reformasi, warga sini sempat makmur untuk bekerja menjadi sopir truk tambang atau buruh tambang batu atau pasir. Sudah terkenal, kalau pasir kuningan itu bagus untuk bangunan. Ya karena warga sini menjual tanahnya ke penggarap (tambang), saya sempat merantau ke jakarta untuk bekerja sampai 2010 itu“, tutur Tarpin
Ia mengaku kagum dengan perjuangan rekan-rekannya untuk terus bertani di desanya. Meski terkadang, ia sedih kepada anak-anak muda disini yang justru tidak berminat sekali untuk meneruskan budidaya tani di desa nya.
Hal demikian, ternyata juga diiyakan oleh Rohana. Rohana adalah salah satu tetangga Tarpin atau anggota kelompok tani Tarpin. Rohana menyatakan bahwa selepas tambang berhenti beroperasi tahun 2014. Warga disini banyak yang kesusahan untuk mendapatkan tanah garapan. Selain tanah tidak subur, para pemilik tambang juga terkesan tidak mau tanahnya digarap atau direklamasi.
“Ya gimana ya, kita bodoh waktu itu untuk menjual kandungan tanah-nya ketika jual-beli itu. Kita juga tak tau, lahan-lahan milik siapa saja ini sekarang, karena sertifikat tanah juga hampir tidak tau batasannya“, jelas Rohana
“Setelah Kuwu Iwan menjabat tahun 2018, semua kondisi atas kesulitan kami terjawab. Kuwu Iwan berani untuk mendobrak kesulitan dengan mendorong penanaman kedelai di Tahun 2018-2021” lanjut Rohana
Kondisi gersangnya tanah-tanah bekas galian di Desa Cibulan, sejak tahun 2014 s.d. 2017 itu diubah dengan kesungguhan beberapa petani untuk menanam atau melakukan revegetasi lahan eks galian terlantar.
Rohana menunjukkan bahwa lahan-lahan yang ditanami kedelai dan kacang tanah di Desa Cibulan ini tak ubahnya adalah lahan bekas galian pasir, yang sudah diolah sekitar 3-5 tahunan diolah dengan kacang dan kedelai.
Menurut Kuwu/ Kepala Desa Cibulan, Iwan Gunawan menyatakan bahwa desa-nya pernah mendapat status desa tertinggal tahun 2015 oleh Kementerian Desa PDTT. Namun sejak penanaman kedelai ini, lanjutnya, telah menjadi desa maju menurut indeks desa mandiri kemendes tahun 2022.
“Saya mendapat dorongan juga dari Rohendi, di Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan yang tekun mendorong budidaya kedelai di Desa Cibulan. Ia mendorong kami melalaui beragam skema alternatif dari RDKK ,dan skema KUR bank atau bank daerah. Bantuan bibit, pestisida dan pupuk kami arahkan agar tiap tahun diprioritaskan untuk petani kedelai di Desa Cibulan, yang akan kami jadikan sentra kedelai di lahan eks galian”, jelas Iwan, yang prestatif itu.
Kehadiran AKSITARU Indonesia, diwakilkan oleh rekan-rekan Ranger Ex Tambang, mendampingi percobaan tanam (demplot) sorgum dan kedelai di lahan eks galian terlantar milik satu (1) kelompok tani Desa Cibulan, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan.

“AKSITARU melalui Ranger Ex Tambang sejak Nopember 2022, s,d, sekarang sudah action untuk mendampingi petani kelompok Pak Tarpin untuk percobaan tanam sorgum dan kedelai di lahan eks galian? Kenapa sorgum. Tentu karena ada pertimbangan sosial ekonomi disana”, jelas Fahmi, salah seorang pegiat Ranger Ex Tambang. Selain itu kami sedang mendorong praktik tata ruang desa yang berdampak”, jelas fahmi
Ia juga menambahkan bahwa berdasarkan analisis tutupan lahan dan verifikasi kebutuhan petani disini, petani Cibulan sangat menginginkan agar pergiliran tanaman harus dilakukan dengan rutin. Polanya, dapat berupa kedelai-jagung-kacang tanah atau padi dan kedelai-kacangtanah-jagung. Ia mencontohkan bahwa pergiliran tanaman merupakan upaya revegetasi alami terhadap tanah marjinal, bekas galian pasir yang sudah kehilangan unsur hara.
Fahmi, pria Tuban yang juga mahasiswa Geodesi ITB angkatan 2019, mengaku bahwa analisis lahan selepas 3 tahun ditanami pola-pola itu, akan berdampak pada kesuburan, hara dan ph tanah.
“ph tanah eks galian itu asam, sampai 3 itu ph nya. Ada di beberapa lokasi yang belum diolah itu masih 3 namun di beberapa lokasi yang sudah ditanami kacang dan jagung itu sudah mulai ada di angka 5,5-6,4 itu ph nya” jelas Fahmi

Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman dan bukti lapangan bahwa tanah ini prospek untuk ditanami komoditas bernilai. Kami berusaha mendorong petani untuk mencoba komoditas sorgum, dan kedelai yang diprioritaskan oleh pemerintah dengan target luasan total 500.000 ha se Indonesia.
“Komoditas sorgum ini kompetitor nya jagung, padahal bisa saling komplemen di sela-sela atau ditanam berjarak dengan kacang atau padi. Sorgum itu bisa tumbuh dimana saja, pun dengan kacang-kacangan, apalagi kedelai. Yang pasti kedelai itu tanahnya harus dinetralkan dulu atau tidak terlalu asam lah. Kami menanam kacang kedelai, dan sorgum dengan full organik tanpa unsur kimia di tanah. Itu uniknya, dan subur. Ajaib!” tutup Fahmi
Lanjutnya, Kecamatan Cidahu itu memiliki sekitar 500 ha area eks tambang dan 200 ha area tambang yang masih aktif. Ini tentu kondisi yang harus disikapi oleh pemerintah daerah dan swasta yang sedang mencari lahan untuk berbudidaya tanaman yang prospek disana. Tentu dengan memperhatikan praktik GAP (Good Agricultural Practice) bersama pendampingan petani desa setempat.

Dalam kunjuangan tim media kami, Kami melihat Fahmi Mahardika lihai memfasilitasi para petani Cibulan, dan sekaligus mendampingi rekan-rekan ESDM Jawa Barat yang sedang melakukan kunjungan monitoring lahan eks galian terlantar. Tampak Fahmi juga menunjukkan lahan garapan Ranger Eks Tambang di Wilayah Cibulan, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan.