Kuningan (27/01), Kegiatan Sekolah Lapang Ranger Eks Tambang, yang diinisiasi oleh AKSITARU Indonesia memasuki tahap inti. Para mitra kegiatan, dari mulai kelompok petani, kader desa, dan BPD kini mulai melakukan beberapa uji demonstration plot (demplot) di beberapa titik lahan garapan, lahan eks galian pasir.

Dalam kegiatan tersebut, AKSITARU Indonesia sebagai inisiator kegiatan bermitra dengan fasilitator lokal, Bapak Sulistyo, Pakar ahli pupuk organik POC dan bioremediasi lahan. Sebagaimana respon wacana pemerintah melalui Kementan RI, Kuningan diharapkan menjadi kawasan pengembangan kedelai, dan kawasan andalan jagung. Sorgum di Jawa Barat, Tentunya kegiatan demplot, fokus pada budidaya sorgum, jagung dan kedelai di eks galian pasir.
Menurut Sulistyo, ia meyakini bahwa tanaman kacang-kacangan adalah pengikat bakteri baik, terutama bintil akar atau yang biasa disebut Rhyzobium. Dirinya mengetahui bahwa proses untuk mengikat hara tanah di eks galian pasir memerlukan biaya mahal jika memakai pendekatan cropping.
“Pendekatan yang murah, mudah dan terjangkau adalah dengan menanam kacang-kacangan di lahan eks galian pasir, Memang jika di hitung provitasnya, masih kalah jika ditanam di lahan sawah namun manfaat di masa depan, hara tanah akan kembali dan rhizobium akan mengikat hara tanah tadi”
Menurut nya, pemerintah kabupaten atau pusat juga perlu upaya manajemen hara tanah, dan hal tersebut belum begitu diperhatikan. Apalagi dengan cara budidaya petani lokal, menurutnya masih memiliki ketergantungan terhadap bantuan pupuk kimia dan pestisida. Padahal, ia mengklaim bahwa pupuk /kompos terbaik untuk tanaman itu, ada di sekitar lahan (daun bambu) atau ada pada kandungan tanaman itu sendiri.
“Manajemen hara tanah itu penting, makanya sebelum tanam dicek dulu, unsur kandungan makro dan mikronya seperti apa. Hal yang perlu dilakukan yakni PUTS (Perangkat Uji Tanah Sawah) dan PUTS (Perangkat Uji Tanah Kering), dan sayangnya, hal ini jarang dilakukan. Para penyuluh pertanian lapangan lebih senang kerja administratif dan petani kita sudah terjebak mindset industri, menunggu bantuan pupuk kimia. Nitrogen itu sudah ada di alam, 74% di udara. Tanaman itu butuh fosfat dan kalium, nah tugasnya yang membuat itu adalah azetobacter, rhizobium, lactobacillus dan nitrobacster sehingga menjadi zat lemah dan diserap oleh tanah. Apalagi tanah kita tanah vertikal, dan itu perlu diikat oleh bakteri-bakteri tadi untuk menyuburkan ”, Jelas Tio
Sulistyo juga menambahkan bahwa petani kita sangat bergantung ke bantuan, sehingga tak ada kemandirian pangan dari benih, pupuk dan pestisida. Budidaya pertanian yang cenderung industrionalistik, dan kondisi lahan yang kritis, apalagi tanah eks galian demikian menurut tio.
“Kami telah konsisten, memandirikan petani lewat petani mandiri pupuk, dan menarik kami juga bisa bekerjasama dengan AKSITARU untuk demplot pertama kali pupuk organik di lahan eks galian pasir ini” lanjutnya. Saya bilang, falsafah pertanian itu harus diubah jadi falsafah merawat lahan bukan falsafah merawat tanaman”
Sementara itu dari petani mitra, Tarpin, selaku ketua kelompok tani menyatakan bahwa sebelum aktivitas pertambangan galian pasir di Desa Cibulan. Tahun-tahun 80-90an, petani kita disini menanam tebu dan padi.

“Disini sebelum tambang itu ada tebu dan padi. Kacang tanah disini baru mulai tahun 2000-an ya, dan baru tahun dan ada tanaman kedelai itu baru ada sejak tahun 2017 itu program dari pemerintah pusat lewat desa. Adanya pa eko dkk dari aksitaru, demplot sorgum dan kedelai, insyaallah menambah semangat kami untuk menjadikan desa kami sentra kedelai”, demikian tuturnya
Tarpin juga mengajak kepada tim AKSITARU untuk berkenan mengawal program desa kedelai di Kabupaten Kuningan. Dirinya yakin, bahwa rekan-rekan atau jejaring AKSITARU luas, apalagi desanya sangat membutuhkan mitra pembeli (offtaker) untuk kacang -kacangan atau tumbuhan lainnya.
“Saya harap, ada pembeli dari kenalan AKSITARU nanti untuk menyerap kacang tanah, kedelai dan buah-buahan disini. Luas area tanam sekitar 514 ha disini, kalau 100 ha saja kacang tanah dan sisanya kedelai dan buah-buahan, kurang lebih tiap tahun ada 10 ton/ musim tanam untuk tiap komoditas. Modal hanya 600 ribu per 100 bata, dengan kisaran keuntungan bersih Rp 500-700 ribu per 100 bata. Potensi mas, desa ini, Hanya saja, itu tadi, lahan garapan kami masih bergantung pada pengusaha eks galian”
Menanggapi pernyataan Tarpin, Wildan Fatih, asisten Peneliti bidang Geospasial partisipatif menyatakan bahwa konsolidasi lahan pertanian perlu dilakukan kepada kelompok tani, suprastruktur desa dan pihak investor pemilik lahan eks galian. Ia menyampaikan poin aspirasi tersebut kepada rekan-rekan petani di lapangan, dan mengemas menjadi peta olahan sebagai berikut terlampir.
Melanjutkan Wildan, Eko Fajar selaku penanggung jawab kegiatan ini menyampaikan hal-hal tersebut kepada pihak kecamatan Cidahu untuk mulai menginventaris lahan-lahan eks galian sekaligus membentuk secretariat bersama masyarakat lingkar tambang. Tindak lanjut riset ini disampaikan kepada aparatur pemerintah Kecamatan Cidahu pada Rabu, 25 Januari 2023 lalu.
“Pertama, kita sampaikan kepada pak camat Cidahu Kuningan untuk memfasilitasi secretariat masyarakat eks galian, kemudian fasilitasi kegiatan sekolah lapang dan demplot budidaya percontohan dan sekaligus pembentukan BUMDes bersama sebagai offtaker di tingkat kawasan” jelas Eko
Poin-poin aspirasi tersebut, ditanggapi oleh Agus, Camat Cidahu, Kabupaten Kuningan yang menanggapi urgensi pengelolaan kawasan eks galian pasir di wilayahnya.

“Betul, kami memiliki 200-an ha lahan eks galian pasir se Wilayah Cidahu, terbesar di Kuningan. Saya sepakat untuk kemudian ditindaklanjuti untuk menyelenggarakan Sekolah Lapang dan kegiatan demplot budidaya kacang-kacangan di eks galian pasir. Kami juga berencana akan memfasilitasi ketua BUMDes se Cidahu untuk membentuk BUMDes bersama. Titip kami ke mas Eko agar kebijakan soal RDKK Pertanian, juga mengakomodir tanaman pangan selain padi dan ada insentif untuk petani millennial. Tak hanya sebatas jargon atau program eventual seperti festival semata.” Demikian tegas Agus
Kegiatan Demplot kedelai dan sorgum di Desa Cibulan ini, diperkirakan akan berlangsung selama tiga (3) bulan, dan nanti diharapkan dapat menjadi awal petani setempat untuk melakukan program penangkaran benih di desa Cibulan, Cidahu, Kuningan
“Hasil panen untuk masyarakat, agar mulai menginisiasi kelompok penangkaran benih sorgum dan kedelai”, Tutur Eko, sebagai penutup