Menu Close

Hadiri Rapat Dengar Pendapat Umum Evaluasi UU Desa, AKSITARU Minta Sinkronisasi Kebijakan Tata Ruang

Via zoom (24/5), beberapa asosiasi pengurus dan pejabat desa se Indonesia, peneliti/ akademisi dan pegiat desa lainnya diundang oleh Komite I DPD RI untuk menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum terkait evaluasi dan masukan UU Desa/ UU 6 Tahun 2014. Kehadiran AKSITARU Indonesia, sebagai peninjau individu atas kerja-kerja AKSITARU yang dekat dengan masyarakat asosiasi BPD desa dan LPM Desa/ kelurahan.

Dalam kesempatan tersebut, beberapa tamu undangan peserta hadir seperti DPN PPDI (Pak Mujito, Pak Widi dkk), APDESI (Surta Wijaya dkk) , PAPDESI dan beberapa anggota DPD RI Komite I. Terlihat diantaranya GKR Hemas, Abdul Kholik, Ach Sukisman, Teras Narang dkk. Mengingat sebagai peninjau, perwakilan AKSITARU Indonesia yang hadir hanya diperkenankan untuk memberikan masukan tertulis melalui email Komite I DPD RI.

Beberapa hal yang dibahas dari RDPU ini, di antaranya terkait wacana masa jabatan Kepala dan perangkat desa (8 tahun- 1 periode- tak dapat dipilih ulang), Percepatan Administrasi Pertahanan dan kebijakan penataan tata ruang desa pasca UU Cipta Kerja, Audit Capaian Dana Desa, dan Kendala pengelolaan BUMDes bersama. Hal-hal ini akan dibahas dikemudian hari oleh Timja (Tim Kerja) Evaluasi UU Desa.

Hadirnya AKSITARU Indonesia sebagai peninjau kegiatan, memberikan beberapa catatan penting terhadap keberjalanan UU Desa/ UU 6 Tahun 2014 pasca UU Cipta Kerja berkaitan sektor tata ruang dan sumber daya manusia desa.

Pertama, Pasca UU Cipta Kerja, Desa berpotensi sebagai objek kawasan peruntukan fungsi ruang/ wilayah yang lebih makro diatasnya. Hak desa sesuai asas Rekognisi dan Subsidiaritas tak boleh hilang, meski terdapat instruksi / perintah negara terhadap pengelolaan kawasan strategis nasional (KSN). Pemerintahan desa harus terlibat aktif sebagai subjek, jika ingin tetap berada pada marwah UU Desa. Desa harus hadir dalam beberapa urusan pengelolaan kawasan strategis nasional, tak hanya terlibat dalam proses pengadaan tanah tetapi bagaimana skema bisnis yang dikerjakan berpihak kepada masyarakat desa setempat lewat BUMDes.

Kedua, Dengan fokus perhatian pemerintah pada kelompok usaha BUMDes. Peta jalan BUMDes perlu disusun ke depan, sehingga tidak bersaing dengan pelaku usaha swasta (UMKM kecil) di desa. Pun, kami menyatakan bahwa BUMDes saat ini, masih dikelola dengan kesenjangan kepengurusan baik di tingkat operasionalisasi atau di tingkat birokrasi. Berdasarkan studi yang kami lakukan di Jawa Barat dan Jawa Tengah, akumulasi kapital BUMDes hanya berputar di kelompok masyarakat desa tertentu. Proses rekrutmen karyawan yang belum semuanya transparan, mesin-mesin produksi dari hibah yang tak berfungsi dengan baik, skala usaha yang tak naik menjadi kendala BUMDes hari ini. Maka itu perlu dipikirkan bagaimana mewujudkan “Good Corporate BUMDes”. Belum lagi polemik terkait penguasaan aset UPK (bekas PNPM) yang belum semuanya legal dialihkan ke BUMDes bersama.

Terakhir, kami melihat bahwa terdapat banyak produk tata ruang pemerintah yang belum sinkron dengan pemrograman dan pemahaman masyarakat desa, sehingga membuat mereka bingung terhadap tumpang tindih kebijakan tata ruang desa hari ini.

Tercatat, ada tiga sampai lima produk (3-5 buah) tata ruang desa yang perlu di inventaris kembali oleh pemerintah pusat yakni Rencana Penataan dan Tindak Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP- RTPLP), Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan (RPKP), Zonasi Kawasan Perhutanan Rakyat, Zonasi Lahan Pertanian Berkelanjutan dan Kawasan Rawan Bencana. Inventarisasi produk tersebut, seringkali tumpang tindih antar persil blok seperti dikerjakan oleh kementrian/ lembaga masing-masing

Kami dari AKSITARU Indonesia juga mempertanyakan progress pemerintah terkait satu data Indonesia, bagaimana progress / capaian peta daerah dengan skala 1:50000 yang sudah ditargetkan oleh pemerintah jokowi mengingat peran kedalaman data sangatlah penting untuk menunjang kebutuhan data untuk tata ruang di desa.

Mengutip dari salah seorang Senator dari DIY, GKR Hemas. Beliau sependapat dengan usulan kami.

“Acapkali, pemerintah sering menetapkan kebijakan peruntukan ruang/ lahan di desa, tanpa terlebih dahulu melihat status dan kondisi lahan di desa itu. Bagaimana sejarahnya, bagaimana riwayat penggunaannya dan bagaimana produktivitasnya. Ketika aturan tata ruang itu sudah diterapkan, acapkali justru desa sering dibingungkan”,Demikian Tutupnya

Keempat koreksi itu, pernah dibahas dalam konferensi Desa SDGS tahun 2020.

Bagikan ke
Posted in Rilis Pers

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

go to top